1. Definisi
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 2007).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasarkan keadaan emosi yang mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau destruktif (Yoseph, 2010). Perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2000). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan ketika individu mengalami perilaku yang secara fisik dapat membahayakan bagi diri sendiri atau pun orang lain (Sheila L. Videbeck, 2008).
2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Psikologis
a) Psiconalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instructual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting, pertama insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas ; dan kedua : insting kematian yang diekspresikan dengan agresifitas. Teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya.
b) Teori Pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik
2) Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan, adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
3) Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologis mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada ditengah sistem limbik). Berdasarkan teori biologis, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut.
a) Pengaruh Neurofisiologik, beragam komponen neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik sengat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b) Pengaruh Biokimia, menurut Goldsten dalam Townsend menyatakan bahwa berbagai neurotransmiter (epinefrin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan norepinefrin serta penurunan serotinin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh Genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak kriminal (narapidana).
d) Gangguan Otak, sindrom otak organik berhubungan dengan bernagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang, ketika sesorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal, contoh stressor eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna dan adanya kritikan dari orang lain, sedangkan contoh dari stressor internal : merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan seseoranga yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut pandang perawat- pasien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua yaitu :
1) Pasien (internal) : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kurang percaya diri, hilang kontrol, rasa takut sakit.
2) Lingkungan (eksternal) : ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi social. Hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut:
a) kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b) kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c) Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya danketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
d) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menhadapi rasa frustasi.
e) kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan perubahan tahap perkembangan keluarga.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Keliat (2006) adalah:
a. Pasien mengatakan benci / kesal dengan seseorang
b. Suka membentak
c. Menyerang orang yang sedang mengusiknya jika sedang kesal atau kesal
d. Mata merah dan wajah agak merah
e. Nada suara tinggi dan keras
f. Bicara menguasai
g. Pandangan tajam
h. Suka merampas barang milik orang lain
i. Ekspresi marah saat memnicarakan orang
Menurut Fitria (2006) tanda dan gejala dari perilaku kekerasan, adalah sebagai berikut:
a. Fisik : pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah, serta postur tubuh kaku.
b. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, bicara dengan nada keras dan kasar, sikap ketus.
c. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, sikap menentang, dan amuk/agresif.
d. Emosi : jengkel, selalu menyalahkan, menuntut, perasaan terganggu, dan ingin berkelahi.
e. Intelektual: mendominasi, cerewet atau bawel, meremehkan, suka berdebat, dan mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
f. Sosial : penolakan untuk didekati, mengasingkan diri, melakukan kekerasan, suka mengejek, dan mengkritik.
g. Spiritual: merasa diri berkuasa, tidak realistik, kreatifitas terlambat, ingin orang lain memenuhi keinginannya, dan merasa diri tidak berdosa.
4. Fase-fase Perilaku Kekerasan
a. Triggering incidents
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu agresi antara laian: provokasi, respon terhadap kegagalan, komunikasi yang buruk, situasi yang menyebabkan frustrasi, pelanggaran batas terhadap jarak personal, dan harapan yang tidak terpenuhi. Pada fase ini pasien dan keluarga baru datang.
b. Escalation phase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional, dapat diseterakan dengan respon fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan pasien memuncak, dan belum terjadi tindakan kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif pasien gangguan psikiatrik bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif, gangguan penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh diri dan koping tidak efektif.
c. Crisis point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negosiasi dan teknik de escalation gagal mencapai tujuannya. Pada fase ini pasien sudah melakukan tindakan kekerasan.
d. Settling phase
Pasien yang melakukan kekerasan telah melepaskan energi marahnya. Mungkin masih ada rasa cemas dan marah dan berisiko kembali ke fase awal.
e. Post crisis depression
Pasien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi dan berfokus pada kemarahan dan kelelahan.
f. Return to normal functioning
Pasien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi, dan kelelahan.
5. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri pasien.
c. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting out” untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
6. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping pasien, sehingga dapat membantu pasien untuk mengembangkan mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut akan berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif.
7. Rentang Respon
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menetang merupakan respon maladaptive, yaitu agresif-kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang rendah sampai yang tinggi, yaitu:
Respon adaptif Respon mal adaptif
Asertif | Frustasi | Pasif | Agresif | Kekerasan
a. Asertif: mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa lega jarak bicara tepat, kontak mata tapi tidak mengancam, sikap serius tapi tidak mengancam, tubuh lurus dan santai, pembicaraan penuh percaya diri, bebas untuk menolak permintaan, bebas mengungkapkan alasan pribadi kepada orang lain, bisa menerima penolakan orang lain, mampu menyatakan perasaan pada orang lain, mampu menyatakan cinta orang terdekat, mampu menerima masukan/kritik dari orang lain. Jadi bila orang asertif marah, dia akan menyatakan rasa marah dengan cara dan situasi yang tepat, menyatakan ketidakpuasannya dengan memberi alasan yang tepat.
b. Frustasi: merasa gagal mencpai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.
c. Pasif: diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialami
d. Agresif: memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain mengancam, member kata-kata ancaman tanpa niat menyakiti. Bila marah, orang ini akan menyembunyikan marahnya sehingga menimbulkan ketegangan bagi dirinya. Bila ada orang mulai memperhatikan non verbal marahnya, orang ini akan menolak dikonfrontasi sehingga semakin menimbulkan ketegangan bagi dirinya. Sering berperilaku seperti memperhatikan, tertarik, dan simpati walau dalam dirinya sangat berbeda. Kadang-kadang bersuara pelan, lemah, seperti anak kecil, menghindar kontak mata, jarak bicara jauh dan mengingkari kenyataan. Ucapan sering menyindir atau bercanda yang keterlaluan.
e. Kekerasan: sering juga disebut gaduh-gaduh atau amuk. Perilaku kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain dengan menakutkan, member kata – kata ancaman, disertai melukai pada tingkat ringan, danyang paling berat adalah merusak secara serius. Klien tidak mampu mengendalikan diri.
Menurut Fitria (2006), adapun perbedaan perilaku pasif, asertif dan agresif, seperti pada tabel berikut:
Tabel: Perbandingan Antara Perilaku Pasif, Asertif, Dan Agresif
Pasif
|
Asertif
|
Agresif
| |
Isi pembicaraan
|
Negatif dan merendahkan diri,contohnya perkataan:”Dapatkah saya”
“Dapatkah kamu”
|
Positif dan menawarkan diri,contohnya perkataan: “Saya dapat….”
“Saya akan…”
|
Menyombongkan diri, merendahkan orang lain,contohnya perkataan:Kamu selalu…”
“Kamu tidak pernah….”
|
Tekanan suara
|
Cepat, lambat, mengeluh
|
Sedang
|
Keras dan ngotot
|
Posisi badan
|
Menundukkan kepala
|
Tegap dan santai
|
Kaku, condong ke depan
|
Jarak
|
Menjaga jarak dengan sikap mengabaikan
|
Mempertahankan jarak yang nyaman
|
Siap dengan jarak yang akan menyerang
|
Penampilan
|
Loyo, tidak dapat tenang
|
Sikap tenang
|
Mengancam, posisi menyerang
|
Kontak mata
|
Sedikit/sama sekali tidak
|
Mempertahankan kontak mata sesuai dengan hubungan
|
Mata melotot dan dipertahankan
|
8. Penatalaksanaan
Seorang perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan agitasi pasien, hirarki perilaku agresif dan kekerasan. Disamping itu, perawat harus mengkaji pula afek pasien yang berhubungan dengan perilaku agresif. Kelengkapan pengkajian dapat membantu perawat dalam membina hubungan terapeutik dengan pasien, mengkaji perilaku yang berpontensi kekerasan, mengembangkan suatu perencanaan, mengimplementasikan perencanaan, dan mencegah perilaku kekerasan. (Yosep, 2010).
Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah dan mengelola perilaku agresif. Intervensi dapat melalui rentang intervensi keperawatan.
a. Kesadaran diri
Perawat harus menyadari bahwa stress yang dihadapi dapat mempengaruhi komunikasinya dengan pasien. Bila perawat tersebut merasa letih, cemas, marah, atau apatis maka akan sulit baginya membuat pasien tertarik. Untuk mencegah semua itu, maka perawat harus terus menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan supervise dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah pasien.
b. Pendidikan pasien
Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikai dan cara mengekpresikan marah yang tepat. Banyak pasien yang mengalami kesulitan mengekpresikan perasaan, kebutuhan, hasrat, dan bahkan kesulitan mengkomunikasikan semua ini pada orang lain. Jadi dengan perawat berkomunikasi yang terapeutik diharapkan agar pasien mau mengekpresikan perasaannya, lalu perawat menilai apakah respon yang diberikan pasien adaptif atau maladaptif.
c. Latihan Asertif
Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat yaitu mampu berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang, mengatakan tidak untuk sesuatu yang tidak beralasan, sanggup melakukan komplain, dan mengekpresikan penghargaan dengan tepat.
d. Komunikasi
Strategi berkomunikasi dengan pasien agresif adalah bersikap tenang, bicara lembut, bicara tidak dengan menghakimi, bicara netral dengan cara yang kongkrit, tunjukkan sikap respek, hindari kontak mata langsung, fasilitasi pembicaraan, dengarkan pembicaraan, jangan terburu-buru menginterpretasikan, dan jangan membuat janji yang tidak dapat ditepati.
e. Perubahan lingkungan
Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti: membaca, kelompok program yang dapat mengurangi perilaku pasien yang tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya seperti terapi aktivitas kelompok. Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi sedangkan kelompok digunakan sebagai target sasaran (Keliat dan Akemat, 2005). TAK yang sesuai dengan perilaku kekerasan adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi: perilaku kekerasan.
f. Tindakan perilaku
Tindakan perilaku pada dasarnya membuat kontrak dengan pasien mengenai perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, konsekuensi yang didapat bila kontrak dilanggar.
9. Pohon Diagnosis
Masalah Keperawatan
|
Data yang perlu dikaji
|
Perilaku Kekerasan
|
Subjektif :
Pasien mengancam
Pasien mengumpat dengan kata-kata kotor
Pasien mengatakan dendam dan jengkel
Pasien mengatakan ingin berkelahi
Pasien menyalahkan dan menuntut
Pasien meremehkan
Objektif :
Mata melotot
Tangan mengepal
Rahang mengatup
Wajah memerah dan tegang
Postur tubuh kaku
Suara keras
|
No comments:
Post a Comment